Selasa, 20 Maret 2012

HAFIZ DAN PERAHU


                                                                                                RAHMI/410905645


Sepasang mata itu melirik kesetiap mahasiswa unit 2 yang sedang menceritakan pengalaman mereka. Sambil melipat secarik kertas ditangannya menjadi perahu, dengan memakai baju putih Hafiz tertawa sesaat ketika cerita yang ia dengarkan menjadi lucu karena komentar lelucon dari ayahnya untuk mahasiswa di ruang kuliah. Sesekali iapun menatap dosen kami Pak Fairus, Ayahnya.
Berbeda seperti biasanya, siang itu Hafiz menemani Ayahnya mengajar dikampus. Ia hanya duduk tanpa suara dengan tidak memperdulikan botol minuman berwarna kuning didepannya. Padahal cuaca pada saat itu sangat panas, dan ia tidak mencoba untuk meneguk sedikitpun air itu.
Matahari diluar begitu terik, tapi hafiz masih saja menunggu ayahnya selesai mengajar. Sambil terus-menerus mempermainkan kertas ditangannya, ia tidak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatap kearahnya. Tempat air minum itu masih membisu diatas meja ketika mata kuliah hampir selesai. Anak berwajah imut tersebut tetap saja melipat kertas ditangannya sampai membentuk sebuah benda yaitu perahu.
Tak terasa waktu terus berlalu, azan pun berkumandang. Seketika suasana ruangan menjadi senyap. Hafiz memainkan perahunya yang berlayar diatas meja sampai azan selesai. Kuliah kembali dilanjutkan, hafizpun mendengarkan apa yang disampaikan ayahnya hingga mata kuliah berakhir. Ia pun ikut keluar ruangan dengan menggandeng tangan ayahnya dan tangan satunya lagi memegang perahu hasil karyanya. Perlahan langkah mereka hilang dari ruang panas itu.





1.      

Sepucuk Surat dari Tokyo


Seorang anak perempuan tomboi akhirnya memilih belajar di pondok pesantren setelah menyelesaikan belajarnya di bangku Sekolah Dasar (SD). Ketika itu, semua orang dibuat terkejut oleh pilihannya. Bahkan, hampir semua teman-teman sekelasnya tidak percaya ia akan lulus di sekolah barunya itu. Tapi, sosok anak perempuan tomboi itu tak pernah menyurutkan niatnya untuk mengecap ilmu dis alah satu pondok pesantren terpadu di tanah kelahirannya.Ia memilih pesantren Al-Falah Abu Lam U, sebagai tempat ia menimba ilmu. Walhasil ia pun diterima sebagai santri di sekolah barunya itu. Keluarga besar dan juga teman-temannya bangga akan hasil kerja keras dan kesungguhannya. Bahkan mereka juga menyempatkan waktu untuk mengantar ia ke rumah barunya, di suatu desa terpencil di Aceh Besar, yang dikelilingi oleh petakan sawah masyarakat sekitar. Tak ada yang tahu, kenapa ia memilih daerah terpencil itu sebagai tempat ia menuntut ilmu. Perempuan tomboi itu yang bernama Mikial Maulita.Tapi, kehidupan pesantren yang dipenuhi dengan seribuan disiplin membuat ia tidak betah berlama-lama menetap di situ. Bahkan ia juga meminta izin kepada orang tua untuk meninggalkan pondok itu. Tapi ayah dan ibunya selalu mengingatkan dia dengan seribuan harapan, yang menjanjikan kesuksesan agar dia tetap bertahan untuk menjadi seorang santri. Cewek tomboi itu pun menurutinya, walau terkadang ia kembali merayu mereka agar mengizinkan dia untuk pindah. Akan tetapi, lagi-lagi cewek tersebut gagal, dan mendengarkan segala nasehat yang disampaikan oleh ayahnya – Almarhum Saulida.Tak terasa, sudah hampir tiga tahun si tomboi tersebut menuntut ilmu di sekolah pilihannya,  Sebentar lagi ia akan menyelesaikan belajar di bangku SMP. Lamanya waktu berjalan ternyata tidak pernah membuat ia lupa akan niat untuk meninggalkan jati diriku sebagai santri. Ketika ayah dan ibunya berkunjung ke pesantren, Cewek tomboi tersebut kembali mengatakan keinginan yang dulu untuk meninggalkan pondok dengan alasan yang berbeda.dia tidak lagi mengatakan tidak betah berlama-lama hidup terkurung di pesantren, tapi gadis tomboi itu  hanya bilang, “Adik ingin merasakan pengalaman yang berbeda di luar sana,” begitu kata cewek bernama lengkap Mikial Maulita.“Ayah mau adik tetap sekolah dan belajar di pesantren ini. Insya Allah jika tiba waktunya, adik akan merasakan pengalaman yang jauh lebih berharga dari pada yang adik harapkan saat ini. Ayah mau adik menyelesaikan sekolah di pondok ini hingga wisuda nanti,” begitu kata ayahnya . Maulita hanya terdiam saat ayahnya berkata seperti itu, tidak sempat pun ia meng-iyakan amanahnya. Akhirnya dia hanya menyalami tangan kedua orang tuanya sebelum mereka berpamitan.Seminggu setelah ayah dan ibunya berkunjung ke pondok, tanah kelahirannya , Aceh, dilanda musibah gempa dan tsunami. Bumipun bergoncang pagi itu, tidak ada yang menduga bahwa air laut akan memporak-porandakan sebagian isi kota serta menghilangkan ratusan ribu jiwa. Namun, setelah Ustadzah Aan, salah seorang guru menyampaikan kabar duka bahwa tsunami melanda tanah Aceh, maulita hanya bisa berdoa dan berharap agar ayah dan ibunya baik-baik saja, dan selalu berada di bawah lindungan Allah. Hingga waktu berganti sore, tak ada kabar apapun tentang mereka. Yang datang saat itu adalah kabar duka untuk beberapa temannya yang kehilangan orang tuanya pascamusibah tersebut. dia berusaha menghibur dan memotivasi sang teman di saat perasaan dan pikirannya sendiri yang tak tenang memikirkan kesalamatan orang tuanya.Akhirnya haripun berganti, namun belum juga ada kabar tentang mereka. Tiba-tiba dari kejauhan asrama putri, cewek itu melihat seorang sosok yang sangat ia  kenal, rupanya itu adalah abangnya , Indriansyah. Dari abangnyalah maulit memperoleh kabar bahwa ibu, almarhumah Rosnainar, telah menjadi korban dasyatnya gelombang tsunami yang melanda Aceh. maulita jatuh dan terpuruk, akan tetapi tak ada tetesan air mata yang mengalir di pipi, melainkan hanya diam seribu diam yang ia tunjukkan kala itu. maulita masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh sang abangnya. Bahkan diam-diam dia masih tetap meyakinkan bahwa ayah dan ibunya pasti akan selamat dari musibah tersebut. Hanya doalah yang menjadi senjata  untuk memperjuangkan harapan besar yang dia punyai saat itu.Dua minggu sudah berlalu pascamusibah gempa dan tsunami, namun ayah dan ibunya belum juga menjenguk ke pesantren. Biasanya, mereka selalu berkunjung setiap satu minggu sekali, tapi kali ini keadaan telah berbeda, meraka tak kunjung juga datang. Harapan besar yang di milikinya saat itu pun semakin membuat ia ragu akan keselamatan mereka. Ketika itu, suasana di pesantren semakin sepi. Semua santri dibolehkan pulang ke rumah masing-masing. Bahkan semua teman-teman satu angkatannya  pun ikut menghilang, pulang bersama keluarganya. dia hanya ditemani oleh beberapa para guru yang tetap setia menemani untuk menunggu kedatangan orang tuanya . Tak ada tangisan dan keraguan yang dia  tampakkan di depan mereka. ia hanya bisa menangis, dia saat  tak bersama mereka. Menangis di dalam doa untuk keselamatan ayah dan ibunya, saat itulah yang  dipilih untuk menumpahkan air mata.Sore harinya, seorang teman, Mustika Adilla, dan kakaknya Nila Angggraini berkunjung ke pesantren. Mereka terkejut saat melihat saya masih berada di situ dengan para pembimbing pondok. Dila dan kakaknya mengajak dia tinggal bersama keluarga mereka. Cewek tersebut menolak ajakan itu. dengan Alasan ia masih tetap sama: dia tetap ingin menunggu sampai ayah dan ibunya yang menjemput. Walaupun demikian, ternyata sang teman dan kakaknya tidak juga menyerah. Keesokan harinya mereka kembali dan lagi-lagi mengajak lagi, untuk ikut bersama mereka. Para guru pun mendukung ajakan temannya itu, dengan alasan akan membantu menunggu kedatangan ayah dan ibunya di pesantren. Akhirnya dia pun menyerah dan ikut bersama mereka.Setibanya di rumah sang kawan, Ibu Ernawilis, orang tua temannya itu menyambut kedatangan gadis itu dengan ramah. “Anggap saja keluarga ini seperti keluargamu sendiri nak,” kata ibu Ernawalis. Ketika mendengar ucapan itu, rasanya ingin sekali menangis. Tapi melihat senyum keikhlasan dari keluarga itu, membuat ia tidak ingin menjatuhkan setetes air mata pun di depan mereka. Gadis itu kembali menampakkan ketegaran di depan semua orang. Akhirnya keluarga mereka menjadi keluarga baru untuk dirinya.Satu bulan berlalu pascamusibah itu, semua santri kembali ke pesantren dan melanjutkan proses belajar-mengajar yang sempat berhenti akibat musibah gempa dan tsunami. Walaupun keadaan di pondok terlihat seperti biasanya, namun semangat hidup gadis tomboi itu tidak lagi seperti dulu. Dia tidak lagi menyempatkan waktu bersama teman-teman untuk bersenda gurau, gadis tersebut lebih memilih untuk sendiri dibanding berbagi cerita dan tertawa bersama mereka. Kini si gadis tomboi yang periang itu telah berubah, tidak ada lagi tawa lebar yang ia berikan untuk kehidupan.Tidak terasa enam bulan telah di laluinya dengan seribu harapan akan keselamatan ayah dan ibunya. Namun, mereka tidak kunjung juga datang memberikan kabar gembira, dan mengembalikan cahaya matahari yang pernah berkabut untuk menjadi cerah kembali. Gadis itu terus menunggu mereka di tempat mereka pernah mengantar dirinya untuk menuntut ilmu.Ketika hari terus berganti, tiba-tiba pihak pesantren mendapatkan undangan bagi anak-anak korban tsunami, untuk mengikuti Ashinaga International Summer Camp di Jepang. Maulita terpilih sebagai salah satu peserta dari 26 orang santri. Tanggal 30 Juni 2005 silam, kami pun berangkat ke Negeri Sakura. Rasanya seperti mimpi karena bisa melihat negara lain yang jauh dari tanah air.Ternyata, tidak sia-sia saya berkunjung ke Jepang, banyak hal yang mengajarkan dirinya akan arti semangat hidup, dimulai dari mengejar mimpi hingga kesadaran untuk tidak boleh berlama-lama larut di dalam kesedihan.Di sana, ia bergabung dengan anak-anak yatim dari 19 negara lainnya. mereka saling membagikan pengalaman pahit yang pernah kami punya. dirinya mulai sadar akan arti semangat hidup saat mendengar cerita salah seorang anak India yang kehilangan ibu-nya ketika tsunami melanda kampung halamannya.Memang, baginya, ia masih terlalu kecil untuk kehilangan ibunya. Luar biasa, ketika ia terlihat begitu tegar dan sabar. Ketika itu gadis tomboi itu sadar, bahwa dirinya harus bisa menjadi seperti anak kecil itu. Lalu, iapun pun kembali mengingat tentang cita-cita yang pernah saya impikan. Dia bertekad ingin membuat mimpi itu menjadi nyata. Begitulah perjalanan singkat Maulita ke Negeri Sakura. Ada banyak perubahan yang ada dalam tekad dirinya, ketika ia kembali kembali pulang ke Aceh. Salah satunya, meningkatkan usaha belajar, walau tak ada lagi orang tua yang selalu mendukung. dirinya sadar, bahwa masih punya teman-teman dan guru yang selalu mendorong dan memberikan motivasi untuk kembali bangkit dari kesedihannya.Setelah semua usai, ia pun memperoleh beasiswa S1 di salah satu universitas ternama di Jepang. Dan kini dia telah menjadi mahasiswi Universitas Waseda di Tokyo.Mikial Maulita  terus berusaha untuk mengejar mimpi yang pernah singgah di hidupnya . Namun, perjalanan nya memang belum berakhir sampai di sini. Gadis itu ingin membuktikan kepada anak yatim di dunia, bahwa kita tidak perlu berputus asa untuk semangat dan bermimpi. Karena, kehilangan orang tua bukanlah alasan untuk membuat kehidupan menjadi lebih buruk.dia yakin dan percaya,bahwa ayah dan ibunya akan selalu tersenyum bahagia dengan prestasi yang bisa dia raih sampai saat ini. Editing 21/03/2012