Jumat, 18 Januari 2013

Nyanyian Kayu Mane di Rumah Aceh

Saya berdiri cukup nyaman hanya untuk melihat tetesan hujan yang menangis semenjak pukul delapan pagi. Langit tebal dan awan hitam seakan menghantui niat saya untuk bergegas menuju Peuniti, salah satu daerah di Banda Aceh. Seminggu yang lalu, Munawardi Ismail dosen mata kuliah reporting, editing and writing mengajak kami untuk kuliah praktek kesalah satu tempat bersejarah, Museum Aceh. Terpancar aura bahagia dari mahasiswa unit dua ketika ide tersebut disampaikan oleh seorang dosen muda, di ruangan sempit itu.
Rabu pagi, 19 Desember 2012. Banda Aceh diguyur hujan. Dari  jendela kamar, saya melihat rinai hujan yang terus saja mengguyur kota.  Cuaca memang kurang mendukung, namun tak mengendurkan niat untuk tetap melanjutkan misi melanjutkan perjalanan ke Museum Aceh, sebuah tempat yang bersejarah.
Roda sepeda motor melaju perlahan. Udara dingin dan tetesan hujan menusuk jaket tebal hingga kekulit tipis. Aspal hitam yang biasanya kering, kini mulai tergenang. Setengah jam perjalanan dari rumah ke Museum Aceh. Di gerbang masuk, kendaraan saya nyaris terpeleset. Genangan air membuat jalanan licin. Saat melewati pintu masuk Museum, cuaca seakan berubah menjadi hangat. Padahal rintik hujan masih saja membasahi Museum Aceh. Lonceng Cakra Donya dan Rumoh Aceh bagai menyambut hangat kedatangan saya.
Dari kejauhan, teman-teman terlihat asik berfoto ria. Mereka sedang mengabadikan moment sebuah tempat sejarah, yang masih kokoh, meski telah dimakan usia. Pada sebuah sudut tak jauh dari meja petugas, sebuah benda dari kayu menarik perhatianku. Benda itu, adalah jengki, sebuah alat yang dipakai pada masa lalu, sebagai penumbuk padi.
Selain padi, Jeungki juga digunakan untuk menumbuk tepung, sagu, kopi, bumbu masak serta obat-obatan. Alangkah disayangkan, keberadaan jeungki sudah sangat langka dikalangan masyarakat Aceh.  berkembangnya berbagai alat teknologi modern menyisihkan jengki. Benda ini semakin terasing.
Mata ini masih saja memperhatikan alat unik tersebut, tanpa sadar saya teringat masa kecil dulu, saat liburan ke rumah nenek. Disana masih kental budaya dan hal-hal tradisional lainnya.  Pada setiap rumah mereka pasti memiliki alat tradisional ini.
Beberapa saat kemudian, nampak sebuah mobil kuning masuk ke pekarangan Museum. Ternyata dosen yang kami tunggu-tunggu telah tiba dan langsung menuju ke meja petugas Museum Aceh. Kami segera merapat dan mendengarkan arahan beliau dalam proses mata kuliah praktek. Siang itu kami menjelajahi tempat bersejarah tersebut. Mulai dari menaiki Rumoh Aceh yang ditopang oleh 44 kaki yang terbuat dari kayu, masuk ke gedung pameran temporer yang disambut oleh kerbau berkepala dua, Maket Mesjid Raya dari masa ke masa, kepingan emas pada zaman Kerajaan Aceh dan masih banyak koleksi lainnya yang disimpan di sana.
Saya dan teman-teman sangat tertarik menikmati keindahan dan keunikan benda-benda tersebut, namun jam sudah menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh. Pertanda waktunya istirahat dan Museum Aceh akan ditutup sejenak hingga jam dua siang nanti. Akhirnya kami memutuskan untuk berfoto bersama diantara alat-alat tradisional yang berada dibawah Rumoh Aceh.
Saya kembali melirik pada Jeungki yang berukiran unik disetiap sisinya. Seperti yang dituliskan dalam website acehtourismagency, masyarakat Aceh membuat Jeungki dari  pohon kayu mane. Bentuknya diukir bagus dan penuh dengan seni. Panjang Jeungki biasanya lebih dari dua meter. Di ujung  Jeungki dipasangkan sebuah alu, sebagai alat penumbuk padi atau berbagai macam bahan yang ditumbuk dan dimasukkan dalam sebuah lesung yang  juga dibuat dari kayu. Proses penumbukan dengan Jeungki membuat hasil gabah (padi) menjadi lebih  murni.
Selain dijadikan sebagai alat penumbuk gabah kering giling dan tupung, Jeungki bagi masyarakat Aceh terutama bagi ibu rumah tangga dan dara gampong, dapat juga dijadikan sebagai sarana olahraga. “Dengan adanya sitem penumbukan padi  dalam bahasa Aceh disebut  (Rhak Jeungki) dapat menguatkan otot-otot dan gerakan anggota tubuh bagi wanita gampong secara rutin, juga menjadi sebuah penghematan ekonomi dalam rumah tangga. Dalam sebuah Jeungki ada empat sampai lima wanita bekerja secara saling membantu. Bagi para gadis berdiri menginjak di ujung Jeungki, sementara ibu rumah tangga duduk di pinggir lesung menjaga tepung sambil menghaluskan (hayak). Namun, selama langkanya Jeungki bagi wanita desa mulai renggang pula keakraban dan kebersamaan di dalam gampong.” tulis website tersebut.
Hujan telah usai saat kami hendak meninggalkan Museum Aceh. Pengalaman yang tak ternilai harganya bisa berpetualang ke tempat bersejarah tersebut. Memang, sejarah adalah sejarah. Meskipun kita sudah meninggalkannya, tapi harus tetap dikenang dan dilestarikan dalam ingatan dan catatan. Sebuah budaya yang pernah ada di masa lalu, merupakan salah satu fase dari budaya dan sejarah di saat ini. Saat dimana orang Aceh seperti saya mungkin akan begitu merindukan untuk melihat kembali Jeungki.

Ninek Dan Cucunya


Alkisah tentang kehidupan seorang nenek berumur hampir satu abad. Sebuah desa yang terletak di sebelah matahari terbit, Krueng Batu merupakan salah satu desa dari sekian banyak desa yang terdapat dalam catatan penduduk kabupaten yang penuh dengan legenda, Aceh Selatan. Nenek yang bernama Ninek itu hidup dengan seorang cucu laki-laki yang tidak punya orang tua. Ninek seorang wanita yang lahir pada tahun 1933 ini masih juga memiliki tanggung jawab, memberi makan untuk cucu dari putri pertamanya. Hidup dengan serba kekurangan,tak peduli dengan usia yang sudah begitu tua, semasih kaki bisa berjalan, walaupun detak jantung sudah sedikit lambat. Namun, nenek ini masih juga tegar dalam melakukan aktivitas mencari nafkah untuk bisa makan bersama cucunya.
Sekitar 10 tahun yang lalu, beliau tinggal bersama suami dan dua putri tercinta. Meskipun pada masa itu hidup dalam gubuk bambu tapi beliau masih juga merasakan kebahagian. aktivitas sehari hari belau pergi ke sawah dan ke kebun bersama suami dan anak-anaknya. Pada waktu itu rumah beliau jauh sedikit dengan jalan lalu lintas desa yang tempat beliau tinggal, rumah itu memang sangat asing dengan rumah lain, sawah dan kebun adalah taman rumah yang paling indah pada masa itu, suasana rumah yang membuat kita lupa dengan aktivitas, dikala sore angin spoi seakan-akan mendoda idikan kita dalam suasana itu,
 pada jaman dulu orang tua lebih suka membangun rumah dilahan yang luas. Selain kesawah mereka juga bisa bercocok tanam di seputaran rumah. Hidup dengan keluarga pada masa itu sangat mewah dengan pendapatan yang cukup memadai, begitu terasa kebahagian, walaupun dulu bekerja dalam panasnya matahari, tapi rasa bersama itu ada disetiap ayunan langkah yang beliau jalankan.
 Jauh berbeda dengan kehidupan sekarang. Nenek yang berumur 80 tahun  ini, sekarang tinggal dalam rumah berukuran 4x6 meter yang dibangun oleh pemerintah dengan seadanya. Walaupun rumah ini kelihatan sedikit mewah, tapi sangat disayangkan suami dan dua orang putri yang dulu bersama beliau sakarang sudah dipisahkan oleh dua hal yang tak bisa beliau pungkiri. Suami dan putri pertamanya sudah lama meninggalkan beliau untuk selamanya. Orang yang memberikan kebahagiaan selama ini sudah pulang ke rahmatullah. Sedangkan putri keduanya pergi merantau ke kampung orang, dan sekarang sudah mempunyai suami dan saudara lain.
Asmah adalah nama anak putri keduanya, yang kini sudah jauh dengan beliau, rasa kasih sayang dari Asmah jarang beliau dapatkan, hal ini dikarenakan putri keduanya ini jarang pulang kekampung halaman, apa lagi mengenai kebutuhan hidup. Hari-hari yang di lalui nenek tua ini dengan penuh rasa sabar dan bersyukur, walaupun putrinya sudah menjadi sebagaian dari keluarga orang lain, namun nenek ini juga masih bisa menjalani hidup dengan cucunya.  
Tahun berganti tahun, wanita yang lahir pada masa 80 tahun yang lalu, jalannya sudah mulai membungkuk, tapak kaki yang tebal sehingga tidak terasa lagi disaat duri menusuk. Kulit yang sudah kelihatan keriput namun semangat tidak akan pernah pudar untuk terus menjalani hidup. Ekonomi yang semakin melarat, tenaga yang semakin berkurang, nenek ini bekerja hanya bisa membantu rumah tetangga dan saudara lingka, seperti memasak, membersihkan beras, menyapu rumah, dan banyak hal lain yang ia lakukan untuk bisa mendapatkan sedikit upah. Cucu yang semakin hari semakin besar, kebutuhan yang diperlukan semakin meningkat, baik pangan maupun sandang, semuanya menjadi tanggung jawab beliau. Apalah daya nenek yang tulang sudah rapuh ini harus bisa memenuhi kebutuhan tersebut.[]

MENGUAK ALIRAN SESAT DI SYURGA KECIL KAMI

http://dolles-rm.blogspot.com/Suara azan sayup-sayup bergema. Mata terbuka, badan tersentak terbangun dari lelap tidur. Subuh itu sangat sunyi, sepi dan dingin. Hanya merdu suara azan yang menghangatkan tubuh untuk segera bangkit dari tempat yang empuk dan nyaman. Tapi mata ini serasa sulit untuk terbuka lebar. Badan seolah-olah memikul benda berat sehingga tak sanggup untuk bergerak.
Saya melirik jam di handphone yang menunjukkan pukul lima lewat dua puluh. Suara ketukan pintu kamar membuat saya terkejut. Beberapa kali suara itu memanggil dan menyuruh untuk bangun. Langsung saja saya melompat dari tempat tidur dan membuka pintu. Ternyata teman satu kost, gadis berparas Mediteranian itu mengajak saya untuk salat. Wajahnya seperti orang Arab. Kemudian kami berdua menuju ke kamar mandi untuk wudhu dan menjalankan salat subuh berjamaah. Usai menjalankan ibadah wajib tersebut, hati terasa damai dan tentram. Seperti merasakan cinta sang khalik merasuk ke tubuh dan mengalir dalam darah. Do’a kami panjatkan dengan penuh keikhlasan, mengharap hari ini menjadi hari yang penuh dengan ridha-NYA.
Pagi itu, diawal tahun 2011. Suasana hangat menemani keluarga yang beranggotakan enam orang di rumah kontrakan di daerah Jambotape. Inilah syurga kecil kami. Hari yang sangat menantang bagi saya dan gadis arab itu. Kami merencanakan misi untuk menguak kasus besar tentang pertentangan aqidah umat islam, yaitu aliran sesat. Kejadian itu berada dalam ruang yang begitu sempit, sangat dekat dengan kami, tentunya di rumah kontrakan. Sehingga saya memberanikan diri untuk mencoba menyelesaikannya.
Seperti biasa jam enam pagi, kami sudah mulai beraktvitas. Usai salat subuh kami berenam selalu melakukan aktivitas yang sama. Setiap hari Rabu dan Minggu kami bersiap-siap untuk jogging di Blang Padang. Tapi pagi itu, saya dan gadis Arab itu tidak ikut dengan alasan ingin membuat tugas kuliah karena nanti siang harus dikumpul. Teman-teman yang lain mengerti hal tersebut, dan mereka langsung pergi berempat saja. Sepeda sudah disiapkan dan mereka langsung meluncur ke tempat tujuan. Selain olahraga, juga untuk menghirup udara pagi yang bersih dan sejuk. Tidak ketinggalan juga untuk menikmati sunrise yang indah.
Beberapa detik setelah mereka mengayuh sepeda, saya bersama teman saya memulai misi tersebut. Dengan nafas tak menentu dan detak jantung cepat, kami menyusuri kamar salah satu teman kost yang dicurigai. Layaknya detektif kami mengendap masuk dan melirik kesegala penjuru kamar. Kami mencari buku bacaan dan notes yang sering mereka baca. Akhirnya kami menemukannya. Buku bacaan itu setebal Al-quran, kulitnya berwarna coklat muda. Terletak di dalam lemari buku, posisinya disusun agak ke sudut. Perlahan kami menghitung deretan buku agar tidak tertukar saat kami menaruhnya kembali.
Sedangkan buku catatan yang kami cari terletak di atas Al-qur’an terjemahan yang sering mereka baca. Saya mencoba membuka buku tebal tersebut dan sempat membaca satu kalimat pendahuluan yang sangat jarang saya temui dalam buku bacaan lainnya. Kalimat tersebut adalah “Atas nama Tuhan.” Saya terkejut dan berusaha untuk tenang. Selanjutnya saya membaca lagi dua kata yang asing terdengar yaitu “Millata Abraham.
Tiba-tiba teman saya memanggil dan memperlihatkan Al-qur’an terjemahan yang ia buka. Al-quran tersebut sudah dicoret dan digaris bawahi dengan pensil pada kalimat terjemahannya. Sedangkan notes mereka terdapat catatan pulpen hijau yang berisikan penjelasan atau tafsir dari terjemahan Al-qur’an. Kami tidak terlalu memperhatikan hal tersebut, karena kami harus mencetak buku tebal itu dengan waktu yang tidak lama.
Jam masih menunjukkan pukul tujuh. Secepat mungkin kami meninggalkan kamar itu. Dengan langkah cepat kami langsung saja menaiki sepeda motor tanpa memanaskannya terlebih dahulu. Kami mencari photo copy terdekat. Namun belum ada satu pun yang buka. Mungkin karena masih pagi. Semangat kami tidak cukup disitu, sepeda motor tetap melaju hingga tepat di depan toko photo copy yang baru saja dibuka.
Kami sedikit kesulitan untuk mencetak buku tersebut, karena waktu yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, sedangkan bukunya sangat tebal. Kami khawatir mereka pulang dan kami belum menyelesaikan misi tersebut. Kami sangat terburu-buru. Namun mesin pencetak itu belum di panaskan, sehingga saya menjadi sangat cemas. Akhirnya menunggu sebentar dan langsung mencetak kembaran buku tersebut. Mengingat waktu sudah jam delapan kurang sepuluh, akhirnya kami menyudahinya. Tidak sanggup mencetak buku setebal itu dalam waktu sedikit. Hanya 24 halaman saja, dan kami langsung pulang. Manaruh kembali buku tersebut di tempat semula. Saya bersama gadis Arab menenangkan diri. Menarik nafas dalam-dalam dan bersyukur kepada Allah sambil mengucapkan Alhamdulillah untuk misi pertama. Selesai walupun tidak 100% berhasil.
Waktu seakan berjalan begitu cepat. Tanpa menunggu apapun, ia bergerak seenaknya saja. Perjalanan hidup pun berubah seiring berjalannya waktu. Teman masa kecil saya dulu kini menjadi aneh dan berubah tidak seperti biasanya. Padahal kami sudah seperti saudara. Saya begitu merasakan hal itu. Saya sangat menyayanginya. Takut sekali sesuatu terjadi menimpanya.
Dia teman dekat saya, sangat dekat. Sehingga kami sering dikatakan saudara kembar karena wajah yang hampir serupa. Bagai “pinang dibelah dua”. Itulah sebutan untuk kami berdua oleh teman-teman kost lainnya. Segala sesuatu selalu bersama, kemana pun pergi juga berdua. Bahkan kami bercerita sebelum tidur sampai tidak ingat waktu. Sering teman yang berparas Arab itu mengingatkan untuk istirahat, tapi seperti cerita tidak pernah habis-habisnya untuk kami bahas. Sehingga tidak tahu kapan dan jam berapa kami sudah terlelap di tempat tidur.
Tapi belakangan ini dia terlihat berbeda. Saya memperhatikan dia sering pergi dan keluar rumah. Bahkan tidak jarang dia pernah pulang malam. Beberapa teman baru sering menjemput. Sebelumnya mereka belum pernah ke kost. Sekarang sudah sering menginap di kost kami. Saya heran karena mereka mengunci pintu kamar saat bersama. Pernah saya mengetuk dan pura-pura mengambil sesuatu di sana. Karena penasaran saya pun memberanikan diri masuk ke kamar. Tapi tidak terlihat adanya perbedaan saat saya memperhatikan sekeliling kamar. Aktivitas mereka ada yang sedang menulis, membaca buku dan memegang Al-quran terjamahan. Saya berpikir positif, mungkin mereka sedang belajar dan membuat tugas kuliahnya.
Dalam benak terlintas ada apa sebenarnya. Apa yang telah terjadi. Tapi ternyata teman akrab masa kecil saya telah terjebak dalam pendangkalan aqidah yang sedang maraknya terjadi di bumi syariat. Akhir-akhir ini, aliran sesat masuk ke Aceh. Padahal selama ini Serambi Mekah dikenal cukup kental dalam beragama. Ternyata, diam-diam aliran sesat telah berkembang di sana. Di awal tahun 2011, masyarakat Aceh digemparkan dengan adanya aliran sesat “Millata Abraham.” Aliran sesat ini pertama terdeteksi dan berkembang di salah satu kabupaten di provinsi Aceh.
Pernah suatu ketika, saya mengajak teman-teman kuliah ke salah satu tempat rekreasi di daerah Ulee Lheue, Banda Aceh. Kami memang sering meluangkan waktu sejenak untuk bermain dan menenangkan pikiran saat lagi banyak-banyaknya tugas kuliah. Sore itu, selepas pulang dari kampus kami pun menuju ke lokasi. Aroma asap jagung bakar membuat perut lapar sehingga kami memilih untuk berhenti di salah satu tempat jajanan tersebut. Sambil menyantap jagung bakar yang enak, kami mulai bercerita dan bercanda seperti biasanya. Tiba-tiba salah seorang kampus saya membuka pembicaraan tentang pengalaman tetangganya yang masuk ajaran sesat. Kami langsung tersentak dan mendengarkan ceritanya yang panjang lebar. Teman saya yang lainnya juga ikut bercerita karena ia memperoleh informasi yang sama tentang ajaran tersebut dari kakak seniornya di kampus. Akhirnya kami terlarut dalam pembicaraan yang sedang panas-panasnya menghantui masyarakat Aceh.
Tiba-tiba saya teringat dengan teman kost. Terbesit dalam benak saya apakah dia juga termasuk dalam kegiatan tersebut atau mungkin saja ia terjebak oleh teman-teman barunya. Teringat misi pertama yang telah saya lakukan, sehingga ingin menguak lebih lanjut tentang hal tersebut. Saya akan melanjutkan misi itu. Suasana sore di Ulee Lheue semakin serius karena masing-masing dari kami mengemukakan pendapat tentang aliran sesat tersebut. Sebelum matahari terbenam, kami bergegas untuk pulang. Sunset sore itu menjadi saksi pembicaraan kami untuk menuntaskan kasus tersebut.
Setelah gencar-gencarnya peristiwa itu, mahasiswa dan masyarakat menjadi heboh. Mereka tidak mau ketinggalan informasi dan terus update tentang aliran sesat di Aceh. Sehingga organisasi yang berbasis dakwah sering membuat forum diskusi dan seminar yang bertema aliran sesat. Saya sering mengikuti kegiatan tersebut dan sempat berkonsultasi dengan narasumber dalam seminar tersebut. Saya meminta solusi untuk teman saya agar terbebas dari cekraman aliran yang menyesatkan itu.
Ketika saya mengikuti beberapa seminar tentang kemusyrikan yang sedang merajalela itu. Saya banyak mendapatkan pengetahuan dan berusaha agar tidak terjerumus dalam ruang hitam tersebut. "Millata Abraham" dalam ajaran yang meragukan kitab suci Al-quran sebagai pedoman hidup umat Muslim. Dalam seminar tersebut, ketua MPU Kota Banda Aceh menjelaskan bahwa aliran ini menafsirkan Al-quran menurut keinginan dan nafsu mereka dan tidak mengunakan kaedah-kaedah ilmu tafsir. misalnya kata "Ismi” pada "bismillah" ditafsirkan dengan paham ideologi mereka.
Mereka juga tidak memercayai hadits Nabi Muhammad SAW. Mereka mengingkari hadist karena tidak diyakini sebagai sumber hukum kebenaran (sumber hukum kedua setelah Al-quran). Menurut mereka hadis terpecah-pecah kepada hadist shahih, hadis hasan, hadis dhaif dan hadist palsu. Selain itu, mereka juga mengingkari salat lima waktu dan yang mereka akui adalah salat malam yang dilaksanakan dengan posisi duduk dengan menghadap lilin yang telah dinyalakan dengan lampu yang telah dimatikan. Aliran sesat ini pun tidak percaya Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan rasul Allah yang terakhir. Mereka meyakini masih ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
Saya juga pernah mendengar dari teman-teman dan membaca berita tentang ajaran palsu ini. Ternyata Millata Abraham dan aliran-aliran sejenisnya tergolong dalam aliran perusak aqidah umat Islam, pemurtadan, penistaan atau penodaan agama Islam dan pengikutnya dinyatakan tergolong murtad. Kelompok sesat ini menamakan dirinya Komunitas Millata Abraham (Komar). Akhirnya aksi mereka terungkap, anggota kelompok ini berasal dari kalangan terpelajar dan mahasiswa. Beberapa diantaranya adalah murid sekolah unggulan di Banda Aceh dan Aceh Besar. Penyebar ajaran sesat ini adalah sekelompok anak muda berpendidikan. Mereka memang mengincar kalangan terdidik.
Pernah saya bermimpi tentang teman akrab masa kecil dulu. Mimpi itu seperti kenyataan. Bahkan semenjak isu-isu hangat itu merebak, saya semakin sering bermimpi tentangnya. Sesekali terkejut dan terbangun. Keringat bercucuran dan pernah juga mata saya panas sehingga meneteskan air mata begitu saja. Tanpa membuang waktu, saya langsung mengambil wudhu, menghadap sang Khalik. Melaksanakan salat sunat tahajud, mencurahkan isi hati dan berdo’a kepada-NYA supaya diberikan pertololongan dan perlindungan dari segala kejahatan. “tunjukanlah kami kejalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat. Bukan jalan mereka yang Engkau murkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Perkenankan do’a kami.” Amin yaa rabbal ‘alamin.
Pernah saya meminta bantuan teman-teman kampus. Beberapa orang yang memang teman dekat, sudah saling percaya dan sering bersama. Malam itu saya minta izin dari kost untuk keluar bersama gadis berwajah Arab untuk mengeprint tugas. Sebelumnya teman-teman kampus sudah menunggu disalah satu tempat makan di simpang Jambotape, Banda Aceh. Usai print kami langsung meluncur kesana. Menceritakan kasus yang menimpa teman kost kami. Pertama tidak percaya, namun ada diantara mereka yang juga memiliki cerita yang sama dengan kejadian tersebut. Akhirnya mereka mempercayai dan ingin sekali membantu untuk menyelesaikannya.
Tiba-tiba suasana malam itu hening, sejenak kami berpikir dan mengaharap hidayah-NYA hadir dalam suasana yang mencekam itu. Ada diantara mereka yang mengusulkan pendapat untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib, meminta bantuan pemerintah Aceh, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan usulan lainnya. Sebenarnya kami sangat bingung, namun berusaha untuk tidak panik. Tidak ingin hal ini berlarut-larut. Kami akan mengatur strategi untuk menyelesaikan. Semuanya butuh waktu dan proses yang panjang. Perlu kesabaran dan do’a.
Keesokan harinya saya mencoba melaksanakn misi kedua yaitu, menceritakan kepada dosen di kampus. Kebetulan dua orang dosen saya adalah ketua MPU Banda Aceh dan Aceh Besar. Alhamdulillah mereka menyambut hangat kedatangan saya dan kami berdiskusi mengenai kasus tersebut. Saya berharap dari kedua pemimpin ini agar mereka memberikan solusi yang terbaik dan bisa bekerjasama, khususnya menyelesaikan masalah aqidah umat. Tidak lupa saya memberikan bukti photo copy buku bacaan mereka dan menjelaskan keterangan-keterangan lainnya yang berkenaan dengan aliran sesat tersebut.
Akhirnya pada 22 April 2011, aliran yang dinyatakan sesat ini disyahadatkan kembali di Masjid Raya Baiturrahman, Banda AcehPensyahadatan itu dilakukan untuk mengembalikan para pengikut aliran sesat itu ke ajaran Islam yang benar (kafah) berdasarkan Al-quran dan hadis. Termasuk teman akrab saya yang pernah tersentuh ajaran kotor itu juga ikut mensucikan diri dan hatinya kembali. Subhanallah.
Saya bersama teman-teman seperjuangan lainnya bersujud syukur kepada Allah. Perasaan bahagia terpancar nyata diwajah tanpa dosa. Kami berharap tidak ada lagi aliran-aliran sesat yang menghancurkan persatuan umat Islam. Semoga pemahaman umat manusia terhadap islam lebih terikat kuat dan selalu menerapkan syariat islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah. Berpedoman pada Al-qur’an dan sunnah. Sesuai dengan perintah-NYA. InsyaAllah…

Jumat, 04 Januari 2013

PANORAMA HUTAN KOTA


Jembatan orange yang pertama kami lalui merupakan sebuah ucapan selamat datang di awal perjalanan. Hutan Kota BNI adalah tujuan kami, yang merupakan salah satu tempat wisata di Banda Aceh. Berada di desa Tibang, tak terlalu jauh dari Simpang Mesra menuju arah Krueng Raya. Sebelum melewati jembatan tersebut, kami harus merogoh kocek Rp2.000,- untuk keamanan parkir kendaraan.
Pukul dua siang mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) unit dua mulai berdatangan untuk mengikuti kuliah praktek bersama dosen mata kuliah reporting, editing and writing. Kesempatan yang luar biasa bagi kami, karena dapat menambah wawasan dan pengalaman baru. Perasaan senang dan gembira dapat merasakan ruang kuliah yang sejuk dan nyaman.
Cuaca siang itu cukup panas, namun suasana tersebut berubah saat berada di salah satu ruang terbuka hijau yang tergantikan oleh tsunami. Hutan Kota tersebut dulunya merupakan tambak masyarakat. Pasca tsunami tambak ini dibebaskan oleh pemerintah kota Banda Aceh. Pembangunan Hutan Kota BNI merupakan hasil kerjasama antara pemerintah kota Banda Aceh, Bank BNI dan Yayasan Bustanussalatin dan masyarakat sekitar.
Ruang terbuka hijau ini memiliki luas lahan 7,15 hektar. Sehingga kami tak sanggup mencapai seluruh titik Hutan Kota tersebut. Meskipun hari itu sepi pengunjung, tapi tak menghentikan semangat kami meneruskan perjalanan. Ditemani oleh 350 jenis pohon, yakni 3.500 pepohonan yang sudah menari-nari menyambut dengan senang pengunjung yang berdatangan. Tak hentinya mata melirik kagum ke segala arah penjuru hutan indah tersebut.
Selain tumbuhan terdapat juga 12 jenis burung yang di pelihara bebas di sana. Mereka terbang kian kemari merasakan kebebasan tanpa terkurung oleh sangkar. Kami juga merasakan hal demikian. Suasana pun begitu sejuk dan indah, apalagi ditemani berbagai makhluk ciptaan-Nya. Ternyata semua makhluk hidup saling membutuhkan. Tidak hanya sesama manusia, tetapi tumbuhan dan hewan pun sama-sama saling melengkapi dalam kehidupan.
Tak terasa langkah kaki mulai berada di jembatan canopy yang penuh inspirasi, “Jembatan Tajuk Pohon” itulah nama yang tertulis di papan sebelah kanan saat kami melewatinya. Indah sekali pemandangan yang terlihat dari jembatan tersebut, tersebar berbagai jenis pohon yang bisa dilihat dari sudut ke sudut. Ada tumbuhan yang bermain dan bergembira dengan melambaikan daunnya, namun ada pula yang berkata “ini bukan rumahku”  bagi tumbuhan yang layu dan mati. Salah satu pengunjung yang kami temui di jembatan tajuk pohon bernama Nova Salviani, salah seorang mahasiswa Unsyiah mengatakan, “saya baru pertama kali ke sini, suasananya lumayan menyenangkan.”
Setelah melewati jembatan tersebut, kami menemukan sebuah taman bermain untuk anak-anak yang berada di sisi kiri jembatan. Tapi tak terlihat anak-anak yang berada di tempat tersebut. Hanya ada  sepasang remaja yang sedang menaiki jungkat-jungkit, salah satu alat bermain anak-anak. Sepertinya mereka merasakan keasyikan tersendiri tanpa menghiraukan bahwa sebenarnya mereka bukan anak-anak.
Perjalanan kami lanjutkan, di depan mata terdapat tulisan “Jembatan Tambak Bakau”. Kami mulai melangkah dengan hati-hati dan sempat membaca basmallah. Perjalanan di jembatan tambak bakau ini bagaikan berada di sebuah rumah yang dipenuhi bakau. Di sepanjang jembatan ditemani oleh banyak tumbuhan bakau yang masih muda. Seolah-olah mereka mempersilakan kami meneruskan perjalanan yang panjang dan penuh rintangan. Di bawah jembatan terdapat tambak yang dihuni oleh beraneka makhluk kecil. Sesekali mereka mengintip kedatangan kami di permukaan air asin tersebut.
Butuh waktu yang cukup lama untuk melewati jembatan tambak bakau. Selain jembatan yang panjang dan berliku-liku, terdapat juga lantai jembatan dari kayu yang sedikit rusak. Pembangunan fisik hutan kota BNI yang belum rampung mengakibatkan setiap pengunjung harus lebih berhati-hati. Walaupun mata dimanjakan oleh keindahan tumbuhan bakau namun pengunjung harus siaga ketika melewati jembatan tambak bakau tersebut.
Setelah melewati dua jembatan yang penuh inspirasi dan tantangan, perjalanan dilanjutkan kembali. Di sisi kanan terdapat satu kolam ikan yang kecil. Sedangkan di sisi kiri pandangan kami terhampar rumput luas yang dihuni oleh para remaja. Mereka mengabadikan tempat indah tersebut menggunakan kamera handphone. Tak jauh dari hamparan rumput, terdapat tambak ikan yang berbentuk persegi panjang. Mungkin tambak tersebut merupakan sisa lahan yang dulunya adalah tambak masyarakat dan masih tetap ada walaupun hanya sedikit.
Selain kolam ikan, juga terdapat kolam teratai yang indah. Meskipun bunga teratai masih malu menampakkan dirinya, kolam tersebut terlihat cantik karena ditutupi oleh daun-daun yang tumbuh di permukaan air. Tak jauh dari kolam tersebut, kami bertemu dengan sepasang suami istri bersama kedua anaknya. Mereka juga baru pertama kali berkunjung kesini. “hutan kota yang indah, tapi kami lumayan capek. Sepertinya perlu dibangun tempat persinggahan,” ujar Zulbahri sambil menggendong anaknya yang berasal dari Lampeunerut.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Perjalanan kami berakhir disalah satu pohon rindang sebagai tempat istirahat. Di sana ada beberapa remaja yang sedang membaca buku, menulis dan juga ada makan gorengan. “di sini rindang, sejuk dan asik pergi bersama kawan-kawan. Apalagi kalau untuk buat tugas kuliah, pasti seru disini,” jelas Nurwahyuni, salah satu mahasiswa IAIN Ar-Raniry yang sering datang ke hutan kota.
Ternyata banyak pengunjung yang menghabiskan waktu di sini, mereka datang bersama sahabat maupun keluarganya. Tidak hanya untuk berekreasi, foto pra wedding, namun juga sebagai fungsi edukatif, lokasi penelitian oleh beberapa ilmuan yang ingin mempelajari tentang tumbuhan serta interaksi masyarakat sekitar. Akhirnya perjalanan kami dihari itu merupakan perjalanan yang penuh inspirasi dan terlalu manis untuk dilupakan.
Karya_Rahmi 

Selasa, 01 Januari 2013

Mahkota Besi Memanggilku Kembali

http://dolles-rm.blogspot.com/
Rabu bertepatan 12 Desember 2012 di ruang kecil dengan bangku berserakan membuat suasana belajar mata kuliah Reporting Editing Writing begitu membosankan. Saya pun merasakan hal yang sama, bosan. Munawardi Ismail adalah dosen mata kuliah tersebut. Beliau memiliki ide kreatif sehingga bisa membangkitkan semangat mahasiswa pada hari itu. Walaupun suasana begitu panas tapi ruangan kami ditemani oleh kipas angin yang berputar. Dosen muda yang berdiri di depan kami menawarkan sebuah ide untuk mengadakan kuliah praktek lapangan ke Museum Aceh. Mahasiswa bersorak dengan semangat saat mendengar ide kreatif tersebut. Keputusan akhirnya adalah berpetualang ke Museum Aceh.
Tujuan ke Museum Aceh adalah untuk mengerjakan tugas mata kuliah, seperti halnya kuliah praktek sebelumnya ke Hutan Kota. Tema tugas tersebut harus sesuai dengan lokasi atau tempat yang kami kunjungi. Dosen telah memberikan gambaran tema untuk tugas kami diantaranya, Rumoh Aceh, Lonceng Cakra Donya, Museum, Jeungki dan sebagainya. Saya sangat tertarik dengan Lonceng Cakra Donya saat dosen menjelaskan sejarah lonceng tersebut. Sepertinya tema itu  menjadi pilihan saya untuk tugas menulis feature kali ini
17 Desember, tepatnya dua hari sebelum berkunjung ke Museum Aceh, kami harus mengantarkan surat terlebih dahulu. Saya termotivasi untuk menjadi pengantar surat layaknya tukang pos ke Museum Aceh. Selain dapat berkunjung lebih awal dari mahasiswa yang lain, saya juga bisa mengembangkan tema untuk ide menulis tentang Lonceng Cakra Donya. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, saya bersama Sayed M Kamal, seorang sahabat yang bertugas mengantar surat sudah tiba di Museum Aceh.
Ketika hendak memasuki gerbang Museum Aceh, kami terlebih dahulu melewati jembatan beralaskan aspal yang sudah tidak begitu rata. Mata saya langsung tertuju ke arah kanan dan disambut oleh Lonceng Cakra Donya. Inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di Museum Aceh. Saya langsung tertarik dengan lonceng tua tersebut, sehingga kami hampir lupa dengan tujuan kedatangan untuk mengantar surat. Siang itu Museum Aceh terlihat sepi. mungkin karena bukan hari libur.
Saya terkejut dari lamunan uniknya Lonceng Cakra Donya saat sahabat saya yang menepuk bahu untuk menuju ke gedung yang berada di sebelah kiri kami. Terdapat sosok bapak yang sepertinya sudah bisa dipanggil kakek. Kerut tampak jelas diwajah serta kulitnya yang sudah dimakan usia. Kami menjumpai beliau, yang biasa dipanggil pak Idrus untuk menjelaskan tujuan kedatangan kami. Sesaat kami berbincang dan memberikan surat kepada beliau. Ternyata pak Idrus juga pandai bercanda, kami pun ikut larut dalam pembicaraan dan sesekali tertawa kecil mendengar gurauan beliau.
Wate kajak singeh bek tuwo kaba bu saboh bungkoh, rukok sibak beuh,” katanya bercanda. Maksudnya menyuruh kami membawa sebungkus nasi dan sebatang rokok di hari kami berkunjung.
Sebelum meninggalkan Museum Aceh, mata saya tertuju kembali ke arah mahkota besi yang bertulisan Aksara Cina dan Arab itu. Seperti dituliskan dalam blog Liza Fathia, Lonceng Cakra Donya merupakan mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina pada tahun 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm.
***
Rabu 19 Desember 2012 kala hujan mengguyur kota Banda Aceh. Hari yang sangat kami tunggu-tunggu untuk berkunjung ke Museum Aceh telah tiba. Pada pagi menjelang siang hujan masih saja membasahi bumi. Semangat saya dan kawan-kawan tidak pupus walaupun awan hitam menutupi langit biru.
Jam menunjukkan pukul sepuluh, rintik hujan masih saja menghiasi jalan aspal yang dilalui kendaraan, segara saya bangkit dari tempat duduk karena dijemput oleh Sahrur Ramadhan, sahabat saya yang dari jam sembilan sudah stand by di Museum Aceh. Segera kami meluncur kembali kesana walaupun rintik hujan menyapa mata dan dinginnya angin menusuk kulit.
Sesampai di Museum Aceh, saya dan kawan duduk sambil menunggu dosen yang sedang meluncur ke tempat bersejarah ini. Tak lama kemudian terlihat mobil berwarna kuning yang mengarahkan ke pintu masuk museum Aceh. Ternyata eh ternyata itu dosen kita. Saya dan kawan-kawan bergegas untuk berkumpul di bawah rumoh aceh hingga bapak tiba. Mawardi dosen kami langsung memberikan arahan kepada kami untuk mulai mengamati objek yang ada di dalam Rumoh Aceh.
Pada tempat yang sama, kawan-kawan langsung mencari objek untuk membuat tugas penulisan yang telah ditugaskan oleh dosen muda. Dalam kunjungan ini saya tidak berlama-lama dalam Rumoh Aceh karena saya harus berjumpa dengan Laksamana Cheng Ho yang telah lama menunggu di belakang pos jaga Museum Aceh.

***
Lonceng Cakra Donya merupakan hadiah dari Kerajaan Cina yang dibawa oleh Laksamana Ceng Ho kepada Sultan Aceh. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi karena telah aus.
Dalam sumber lain disebutkan, Lonceng Cakra Donya merupakan benda bersejarah yang kini merupakan salah satu koleksi Museum Aceh. Menurut sejarahnya lonceng ini diberikan oleh kerajaan China melalui Laksamana Cheng Ho yang merupakan pelayar tangguh, sebagai ikatan persahabatan antara kerajaan China dengan Kerajaan Aceh.
Pada dasarnya Cakra Donya adalah nama sebuah kapal perang Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Kapal Cakra Donya di mana lonceng ini digantungkan, dalam penyerbuannya terhadap Portugis di Malaka. Pada masa lalu Lonceng dari Kapal Cakra Donya tersebut, digantung dengan rantai jangkar pada pohon kuda-kuda dekat Mesjid Baiturrahnim dalam kompleks kraton untuk dibunyikan apabila penghuni kraton harus berkumpul guna mendengarkan pengumuman Sultan. Akan tetapi, sejak tahun 1915 M Cakra Donya dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam kubah tersebut.

Mahkota besi ini memiliki Rantai yang panjangnya 9,63 cm rantai besi yang dahulu pernah dipakai untuk menggantung Lonceng Cakra Donya pada pohon kuda-kuda di depan Mesjid Baiturrahim dalam kompleks Istana Kesultanan Aceh Darussalam sampai tahun 1915. Sekarang rantai ini tersimpan bersama mahkota raksasa di Museum Aceh. []

Senin, 05 November 2012

CERITA TENTANG RASA ( My bersama Langit )

Aku tidak mampu memilih cinta mana yang hadir dalam CERITA perjalanan hidupku. Bahkan kitapun tidak bisa memilah hanya cinta dan tawa-tanpa masa lalu, tanpa air mata dan tanpa luka.

“Apa benar yang banyak orang katakan, bahwa saat kita harus memilih antara orang yang mencintai dengan yang kita cintai, lebih baik kita memilih orang yang mencintai? Karena orang yang mencintai akan berkorban dengan sepenuh hati untuk kita. Sebaliknya justru kitalah yang harus lebih banyak berkorban jika memilih orang yang dicintai?”

Sebenarnya tak selamanya memilih orang yang mencintai bisa menjamin kebahagiaan. Filosofinya “cinta itu sesungguhnya adalah FITRAH manusia”. Apabila tidak ada cinta, manusia sudah pasti akan bertingkah seperti hewan dan kehilangan fungsinya sebagai makhluk sosial. Yang namanya fitrah itu harus dijaga dengan baik supaya kelak ia bisa menjadi ENERGI. Energi yang membimbing kita untuk menemukan sesuatu yang berharga, termasuk menyalakan KETULUSAN dalam hati kita. Jika kedua hal itu tidak berhasil kita dapatkan dalam proses mencintai, maka kebahagiaan akan sulit untuk di rengkuh.

Tapi percayalah, cinta tidak pernah mengajarkan kita untuk lemah. Tak peduli siapa yang lebih mencintai, jika cinta itu mampu menguatkan dan mendorong kita untuk IKHLAS menghadapi apapun juga, itulah CINTA yang harus kita pilih.

Namun, bagaimana jika memang lebih baik aku bersama orang yang mencintaiku ketimbang orang yang kucintai? Atau bagaimana jika tetap berdiri di TITIK SEMULA adalah hal terbaik untuk yang disebut HARI DEPAN?

Biarkanlah, biarkanlah HATI yang memilih… hatimu-hatiku.

Sabtu, 03 November 2012

Gula VS Cemut di Pondok Geurute (25 juni 2012)


Iringan suara ombak yang mengalir di tepi pantai,,
Air yang begitu tenang,,yang melukiskan keindahan laut,,
Diriku dan dirinya menikmati suana itu,,
Huuufff,,,udara yang begitu segar,menyejukkan jiwa yang tak pernah sepi.
          Didepan pandangan mata terhempas lautan biru,,
          Dua pulau yang hijau nampak bagaikan lukisan,,
          Ingin rasanya berenang mengikuti alur ombak,,
          Hingga akhirnya sampai ke pulau impian.
Pondok kecil yang terletak di tepi jalan,,
Salah satu tempat kami berteduh,,
Sambil menikmati secangkir kopi,,
Dan semangkuk mie yang begitu sedap.