Rabu pagi, 19 Desember 2012. Banda Aceh
diguyur hujan. Dari jendela kamar, saya
melihat rinai hujan yang terus saja mengguyur kota. Cuaca memang kurang mendukung, namun tak
mengendurkan niat untuk tetap melanjutkan misi melanjutkan perjalanan ke Museum
Aceh, sebuah tempat yang bersejarah.
Roda sepeda motor melaju perlahan. Udara
dingin dan tetesan hujan menusuk jaket tebal hingga kekulit tipis. Aspal hitam
yang biasanya kering, kini mulai tergenang. Setengah jam perjalanan dari rumah
ke Museum Aceh. Di gerbang masuk, kendaraan saya nyaris terpeleset. Genangan
air membuat jalanan licin. Saat melewati pintu masuk Museum, cuaca seakan
berubah menjadi hangat. Padahal rintik hujan masih saja membasahi Museum Aceh.
Lonceng Cakra Donya dan Rumoh Aceh bagai menyambut hangat kedatangan saya.
Dari kejauhan, teman-teman terlihat asik
berfoto ria. Mereka sedang mengabadikan moment sebuah tempat sejarah, yang
masih kokoh, meski telah dimakan usia. Pada sebuah sudut tak jauh dari meja
petugas, sebuah benda dari kayu menarik perhatianku. Benda itu, adalah jengki,
sebuah alat yang dipakai pada masa lalu, sebagai penumbuk padi.
Selain padi, Jeungki juga digunakan untuk
menumbuk tepung, sagu, kopi, bumbu masak serta obat-obatan. Alangkah
disayangkan, keberadaan jeungki sudah sangat langka dikalangan masyarakat Aceh.
berkembangnya berbagai alat teknologi
modern menyisihkan jengki. Benda ini semakin terasing.
Mata ini masih saja memperhatikan alat unik
tersebut, tanpa sadar saya teringat masa kecil dulu, saat liburan ke rumah
nenek. Disana masih kental budaya dan hal-hal tradisional lainnya. Pada setiap rumah mereka pasti memiliki alat
tradisional ini.
Beberapa saat kemudian, nampak sebuah mobil
kuning masuk ke pekarangan Museum. Ternyata dosen yang kami tunggu-tunggu telah
tiba dan langsung menuju ke meja petugas Museum Aceh. Kami segera merapat dan
mendengarkan arahan beliau dalam proses mata kuliah praktek. Siang itu kami
menjelajahi tempat bersejarah tersebut. Mulai dari menaiki Rumoh Aceh yang
ditopang oleh 44 kaki yang terbuat dari kayu, masuk ke gedung pameran temporer
yang disambut oleh kerbau berkepala dua, Maket Mesjid Raya dari masa ke masa,
kepingan emas pada zaman Kerajaan Aceh dan masih banyak koleksi lainnya yang
disimpan di sana.
Saya dan teman-teman sangat tertarik
menikmati keindahan dan keunikan benda-benda tersebut, namun jam sudah
menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh. Pertanda waktunya istirahat dan
Museum Aceh akan ditutup sejenak hingga jam dua siang nanti. Akhirnya kami
memutuskan untuk berfoto bersama diantara alat-alat tradisional yang berada
dibawah Rumoh Aceh.
Saya kembali melirik pada Jeungki yang
berukiran unik disetiap sisinya. Seperti yang dituliskan dalam website
acehtourismagency, masyarakat Aceh membuat Jeungki dari pohon kayu mane. Bentuknya diukir
bagus dan penuh dengan seni. Panjang Jeungki biasanya lebih dari dua meter. Di
ujung Jeungki dipasangkan sebuah alu,
sebagai alat penumbuk padi atau berbagai macam bahan yang ditumbuk dan dimasukkan
dalam sebuah lesung yang juga
dibuat dari kayu. Proses penumbukan dengan Jeungki membuat hasil gabah (padi) menjadi
lebih murni.
Selain dijadikan sebagai alat penumbuk
gabah kering giling dan tupung, Jeungki bagi masyarakat Aceh terutama bagi ibu
rumah tangga dan dara gampong, dapat juga dijadikan sebagai sarana
olahraga. “Dengan adanya sitem penumbukan padi
dalam bahasa Aceh disebut (Rhak
Jeungki) dapat menguatkan otot-otot dan gerakan anggota tubuh bagi wanita
gampong secara rutin, juga menjadi sebuah penghematan ekonomi dalam rumah tangga.
Dalam sebuah Jeungki ada empat sampai lima wanita bekerja secara saling
membantu. Bagi para gadis berdiri menginjak di ujung Jeungki, sementara ibu
rumah tangga duduk di pinggir lesung menjaga tepung sambil menghaluskan
(hayak). Namun, selama langkanya Jeungki bagi wanita desa mulai renggang
pula keakraban dan kebersamaan di dalam gampong.” tulis website tersebut.
Hujan telah usai saat kami hendak
meninggalkan Museum Aceh. Pengalaman yang tak ternilai harganya bisa
berpetualang ke tempat bersejarah tersebut. Memang, sejarah adalah sejarah.
Meskipun kita sudah meninggalkannya, tapi harus tetap dikenang dan dilestarikan
dalam ingatan dan catatan. Sebuah budaya yang pernah ada di masa lalu,
merupakan salah satu fase dari budaya dan sejarah di saat ini. Saat dimana
orang Aceh seperti saya mungkin akan begitu merindukan untuk melihat kembali Jeungki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar