Rabu bertepatan 12 Desember 2012 di ruang
kecil dengan bangku berserakan membuat suasana belajar mata kuliah Reporting
Editing Writing begitu membosankan. Saya pun merasakan hal yang sama, bosan.
Munawardi Ismail adalah dosen mata kuliah tersebut. Beliau memiliki ide kreatif
sehingga bisa membangkitkan semangat mahasiswa pada hari itu. Walaupun suasana
begitu panas tapi ruangan kami ditemani oleh kipas angin yang berputar. Dosen
muda yang berdiri di depan kami menawarkan sebuah ide untuk mengadakan kuliah
praktek lapangan ke Museum Aceh. Mahasiswa bersorak dengan semangat saat
mendengar ide kreatif tersebut. Keputusan akhirnya adalah berpetualang ke
Museum Aceh.
Tujuan ke Museum Aceh adalah untuk
mengerjakan tugas mata kuliah, seperti halnya kuliah praktek sebelumnya ke
Hutan Kota. Tema tugas tersebut harus sesuai dengan lokasi atau tempat yang
kami kunjungi. Dosen telah memberikan gambaran tema untuk tugas kami
diantaranya, Rumoh Aceh, Lonceng Cakra Donya, Museum, Jeungki dan
sebagainya. Saya sangat tertarik dengan Lonceng Cakra Donya saat dosen menjelaskan
sejarah lonceng tersebut. Sepertinya tema itu
menjadi pilihan saya untuk tugas menulis feature kali ini
17 Desember, tepatnya dua hari sebelum
berkunjung ke Museum Aceh, kami harus mengantarkan surat terlebih dahulu. Saya
termotivasi untuk menjadi pengantar surat layaknya tukang pos ke Museum Aceh.
Selain dapat berkunjung lebih awal dari mahasiswa yang lain, saya juga bisa
mengembangkan tema untuk ide menulis tentang Lonceng Cakra Donya. Jam sudah
menunjukkan pukul dua siang, saya bersama Sayed M Kamal, seorang sahabat yang
bertugas mengantar surat sudah tiba di Museum Aceh.
Ketika hendak memasuki gerbang Museum Aceh,
kami terlebih dahulu melewati jembatan beralaskan aspal yang sudah tidak begitu
rata. Mata saya langsung tertuju ke arah kanan dan disambut oleh Lonceng Cakra
Donya. Inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di Museum Aceh. Saya langsung
tertarik dengan lonceng tua tersebut, sehingga kami hampir lupa dengan tujuan
kedatangan untuk mengantar surat. Siang itu Museum Aceh terlihat sepi. mungkin karena
bukan hari libur.
Saya terkejut dari lamunan uniknya Lonceng
Cakra Donya saat sahabat saya yang menepuk bahu untuk menuju ke gedung yang
berada di sebelah kiri kami. Terdapat sosok bapak yang sepertinya sudah bisa
dipanggil kakek. Kerut tampak jelas diwajah serta kulitnya yang sudah dimakan
usia. Kami menjumpai beliau, yang biasa dipanggil pak Idrus untuk menjelaskan
tujuan kedatangan kami. Sesaat kami berbincang dan memberikan surat kepada
beliau. Ternyata pak Idrus juga pandai bercanda, kami pun ikut larut dalam
pembicaraan dan sesekali tertawa kecil mendengar gurauan beliau.
“Wate kajak singeh bek tuwo kaba bu
saboh bungkoh, rukok sibak beuh,” katanya bercanda. Maksudnya menyuruh kami
membawa sebungkus nasi dan sebatang rokok di hari kami berkunjung.
Sebelum meninggalkan Museum Aceh, mata saya
tertuju kembali ke arah mahkota besi yang bertulisan Aksara Cina dan Arab itu.
Seperti dituliskan dalam blog Liza Fathia, Lonceng Cakra Donya merupakan
mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina pada tahun
1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm.
***
Rabu 19 Desember 2012 kala hujan mengguyur kota Banda Aceh. Hari yang sangat kami tunggu-tunggu untuk berkunjung ke Museum Aceh telah tiba. Pada pagi menjelang siang hujan masih saja membasahi bumi. Semangat saya dan kawan-kawan tidak pupus walaupun awan hitam menutupi langit biru.
Jam menunjukkan pukul sepuluh, rintik hujan masih saja menghiasi jalan aspal yang dilalui kendaraan, segara saya bangkit dari tempat duduk karena dijemput oleh Sahrur Ramadhan, sahabat saya yang dari jam sembilan sudah stand by di Museum Aceh. Segera kami meluncur kembali kesana walaupun rintik hujan menyapa mata dan dinginnya angin menusuk kulit.
Sesampai di Museum Aceh, saya dan kawan duduk sambil menunggu dosen yang sedang meluncur ke tempat bersejarah ini. Tak lama kemudian terlihat mobil berwarna kuning yang mengarahkan ke pintu masuk museum Aceh. Ternyata eh ternyata itu dosen kita. Saya dan kawan-kawan bergegas untuk berkumpul di bawah rumoh aceh hingga bapak tiba. Mawardi dosen kami langsung memberikan arahan kepada kami untuk mulai mengamati objek yang ada di dalam Rumoh Aceh.
Pada tempat yang sama, kawan-kawan langsung mencari objek untuk membuat tugas penulisan yang telah ditugaskan oleh dosen muda. Dalam kunjungan ini saya tidak berlama-lama dalam Rumoh Aceh karena saya harus berjumpa dengan Laksamana Cheng Ho yang telah lama menunggu di belakang pos jaga Museum Aceh.
***
Lonceng Cakra Donya merupakan hadiah dari Kerajaan Cina
yang dibawa oleh Laksamana Ceng Ho kepada Sultan Aceh. Cakra berarti poros kereta,
lambang-lambang wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan donya berarti dunia.
Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara
Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat
Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5).
Sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi karena telah aus.
Dalam sumber lain disebutkan, Lonceng Cakra Donya merupakan benda
bersejarah yang kini merupakan salah satu koleksi Museum Aceh. Menurut
sejarahnya lonceng ini diberikan oleh kerajaan China melalui Laksamana Cheng Ho
yang merupakan pelayar tangguh, sebagai ikatan persahabatan antara kerajaan
China dengan Kerajaan Aceh.
Pada dasarnya Cakra Donya adalah nama sebuah kapal perang Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Kapal Cakra Donya di mana lonceng ini digantungkan, dalam penyerbuannya terhadap Portugis di Malaka. Pada masa lalu Lonceng dari Kapal Cakra Donya tersebut, digantung dengan rantai jangkar pada pohon kuda-kuda dekat Mesjid Baiturrahnim dalam kompleks kraton untuk dibunyikan apabila penghuni kraton harus berkumpul guna mendengarkan pengumuman Sultan. Akan tetapi, sejak tahun 1915 M Cakra Donya dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam kubah tersebut.
Mahkota besi ini memiliki Rantai yang panjangnya 9,63 cm rantai besi yang dahulu pernah dipakai untuk menggantung Lonceng Cakra Donya pada pohon kuda-kuda di depan Mesjid Baiturrahim dalam kompleks Istana Kesultanan Aceh Darussalam sampai tahun 1915. Sekarang rantai ini tersimpan bersama mahkota raksasa di Museum Aceh. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar